KONSEP
PENDIDIKAN:
H. ABDULLAH SYAFI’I Versus KH. ABDULLAH
BIN NUH
Oleh: zaijoni
A.
Pendahuluan
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
فَتَعَالَى اللَّهُ
الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ
وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (١١٤)
Artinya: Maka
Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah:
“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha(20):114)
(Departemen Agama RI, 1995: 255)
Betapa pentingnya ilmu pengetahuan itu
sehingga Allah SWT telah mengajarkan kepada kita untuk meminta ilmu pengetahuan
kepada-Nya. Ilmu pengetahuan itu tidaklah datang begitu saja, ia harus
dipelajari, digali dan dituntut dengan segala cara. Tentu saja ilmu pengetahuan
diperoleh melalui pembelajaran di mana pembelajaran itu terdapat dalam
pendidikan.
Untuk memajukan pendidika perlu adanya
konsep pendidikan sebagai landasan idealis maupun landasan pelaksanaan.
Dalam makalah ini penulis membahas
tentang Konsep Pendidikan KH Abdullah Syafi’i vs Konsep Pendidikan KH. Abdullah
bin Nuh, dengan tujuan agar kita dapat mengetahui/memahami konsep-konsep mereka
dan dapat merupakan pertimbangan bagi kita untuk memajukan pendidikan Islam dimasa
yang akan datang.
B.
Pemhahasan
1.
Pemikiran dan usaha KH. Abdullah
Syafi’i dalam bidang pendidikan
Menurut Abuddin Nata, KH. Abdullah Syafi’i
berdasarkan uraian riwayat hidupnya terlihat bahwa beliau di samping sebagai
praktisi pendidikan dan sosial kemasyarakatan, juga sebagai pemikir sebagaimana
terlihat dalam sejumlah karya tulis yang disusunnya. Ia tampaknya memadukan
antara dua kekuatan, di samping sebagai teoritisi juga praktisi. Hal yang
menarik dari keduanya adalah bahwa teori yang dirumuskannya adalah diangkat
dari pengalaman praktiknya.
Di antara pemikiran dan usaha Abdullah
Syafi’i dalam bidang pendidikan/tujuan pendidikan dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Tidak seperti pemikir pendidikan lainnya
Abdullah Syafi’i mencoba merumuskan tujuan pendidikan dengan mengaitkannya pada
jenjang pendidikan tertentu dan bersifat teknis dan operasional. Menurut
Abdullah Syafi’i tujuan pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA), misalnya adalah: membentuk siswa-siswi yang
menguasai ilmu agama setingkat tsanawiyah dan aliyah dan pengetahuan umum
setingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum. Sedangkan tujuan
pendidikan untuk pesantren putra-putri adalah: menciptakan kader ulama dan zu’ama,
pewaris bumi tercinta dimasa mendatang.
Sejalan dengan tujuan pendidikan itu,
Abdullah Syafi’i memandang bahwa semua ilmu dapat dipelajari, baik ilmu agama
maupun ilmu umum seperti ilmu kedokteran. Sesuai dengan pandangannya ini Abdullah
Syafi’i berpendapat bahwa materi pendidikan Islam adalah meliputi disiplin ilmu
yang luas atau mencakup disiplin agama maupun disiplin ilmu umum. (Syafi’i,
2003: 160).
Pendidikan Islam tidak cukup hanya
mengajarkan satu bidang ilmu agama saja, melainkan juga mengajarkan bidang ilmu
umum, bahkan di dalamnya temasuk seni dan keterampilan. Namun demikian materi
pelajaran yang amat ditekankannya adalah materi pelajaran agama Islam. Berbagai
bidang ilmu agama yang diajarkannya ia berikan melalui kitab kuning, seperti Tafsir
Jalalain, Riyadh al-Sholihin, al-Nashaih al-Diniyah.
Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut
terlihat bahwa Abdullah Syafi’i ingin membentuk manusia yang memiliki ulama
plus, yaitu seseorang yang benar-benar menguasai ilmu agama, dan juga sekaligus
menguasai ilmu pengetahuan umum. Tujuan pendidikan ini tampak sejalan dengan
pandangannya mengenai tujuan hidup manusia, yaitu manusia yang selain dapat
mencapai kesejahteraan hidup di dunia, juga kesejahteraan hidup di akhirat,
dengan cara melengkapi dirinya dengan ilmu agama dan ilmu umum. Dan tidak
membatasi, memisahkan atau menghalangi manusia untuk menuntut ilmu.
Sejalan dengan tujuan dan materi
pendidikan Abdullah Syafi’i juga berbicara tentang metode pendidikan yang
didasarkan pada pandangan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Di antara ayat Al-Qur’an
yang mempengaruhi tentang metode pengajaran ini adalah ayat 125 Surat an-Nahl
yang pada intinya berisi ajakan kepada manusia agar mengikuti agama Allah dengan
cara hikmah (bijaksana) mau’idzah hasanah (ajaran yang baik)
serta bermujadalah (berdiskusi) dengan cara yang baik (wajadilhum bi
al-lati hiya ahsan).
Berdasarkan ayat tersebut, Abdullah
Syafi’i memperkenalkan metode pengajaran dengan cara talqin, diskusi,
penugasan, bimbingan dan metode lainnya. Metode-metode tersebut selengkapnya
adalah sebagai berikut:
1.
Metode Talqin
Metode ini cara kerjanya dimulai dengan
memperdengarkan bacaan suatu ayat atau teks tulisan seperti tartil dan
berulang-ulang hingga sempurna. Bacaan ayat atau teks tulisan tersebut diikuti
oleh salah seorang muridnya yang agak pandai dan selanjutnya diikuti oleh para
siswa lainnya secara keseluruhan.
Dengan metode ini Abdullah Syafi’i telah
menetapkan pola pengajaran dengan sistem tutor sebaya, suatu cara pengajaran
yang berupaya memanfaatkan peserta didik yang agak pandai untuk membantu
temannya yang agak tertinggal. Cara ini secara psikologis telah menghargai
prestasi yang dicapai anak didik. Metode talqin ini cocok digunakan untuk
pengajaran keterampilan membaca Al-Qur’an dan pengajaran bahasa.
2.
Metode Diskusi
Abdullah Syafi’i mempergunakan metode
ini pada siswa tingkat akhir. Cara bekerjanya dimulai dengan menjelaskan tujuan
pengajaran, permasalahan yang harus dipecahkan, bahan-bahan bacaan yang tersedia.
Melalui proses diskusi yang terarah tersebut para siswa menemukan kesimpulan
berupa konsep, teori, wawasan dan sebagainya dari suatu bidang kajian tertentu.
Metode ini cocok digunakan untuk
pengajaran bidang studi yang membutuhkan keterampilan berpikir dalam memecahkan
masalah. Namun menurut Abdullah Syafi’i, ada satu hal yang tidak boleh
didiskusikan oleh para pelajar yaitu tetang Tuhan.
3.
Metode penugasan
Metode ini digunakan oleh Abdullah Syafi’i
untuk mengulangi kembali mata pelajaran yang telah diberikan sebelumnya untuk
diulang kembali pada pertemuan berikutnya. Dengan metode ini Abdullah Syafi’i
mengharapkan agar peserta didik benar-benar menguasai materi pelajaran yang
sudah dipelajarinya.
4.
Metode pemagangan
Metode ini digunakan oleh Abdullah Syafi’i
kepada para siswa yang hampir menyelesaikan pendidikannya. Andaikata suatu saat
siswa itu akan bertugas sebagai guru, maka sebelum mengakhiri pelajarannya ia
terlebih dahulu harus berlatih magang menjadi guru. Demikian juga jika suatu
saat siswa itu bertugas sebagai muballigh, maka sebelum mengakhiri pelajarannya
ia harus berlatih sebagai muballigh. Dengan metode pemagangan ini, seorang
calon guru, atau calon muballigh memiliki keterampilan, pengalaman dan wawasan
praktis dalam melaksanakan tugasnya kelak di kemudian hari.
5.
Metode pengulangan
Metode ini digunakan oleh Abdullah Syafi’i
untuk meningkatkan pemahaman para siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan
kepadanya. Metode ini cara kerjanya dengan meminta para siswa pada setiap kali
pertemuan untuk mendemonstrasikan atau mengulangi kembali pengetahuan yang
dimilikinya sehingga benar-benar dikuasainya dengan baik.
6.
Metode bimbingan dan teladan
Metode ini digunakan oleh Abdullah Syafi’i
dengan cara menampilkan dirinya sebagai seorang ulama yang memberikan teladan
pada umat yang berada sekitarnya. Teladan dan bimbingan misalnya ia berikan
kepada anak didik pada saat melaksanakan shalat Subuh. Kiyai langsung
mengingatkan atau membangunkan anak-anak untuk segera bersiap-siap melaksanakan
shalat Subuh itu.
Menurut informasi yang disampaikan
muridnya, Amirin, bahwa Abdullah Syafi’i sering kali mengunjungi murid-muridnya
di tempat tinggalnya dan kemudian mendo’akan muridnya, bahkan terkadang Kiyai
memberikan barang-barang berupa kain untuk diperdagangkan, dengan tujuan di
samping muridnya memiliki keterampilan berdagang, juga mendapatkan rezki dari
keuntungan yang diperolehnya.
Atas dasar kenyataan ini, maka tidaklah
keliru, pernyataan Republika pada edisi Jum’at 16 Januari 2004 yang menyatakan
bahwa KH. Abdullah Syafi’i sebagai mubaligh, pengarang buku dan pengusaha.
Informasi yang diperoleh di atas, selain memperlihatkan kesungguhan Abdullah
Syafi’i di dalam mencari berbagai upaya untuk mencerdaskan anak didiknya juga
merupakan kedalaman pemahamannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan matan hadits.
Sejalan dengan pentingnya pencapaian
tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, Abdullah Syafi’i berbicara
tentang tipologi guru yang baik. Menurutnya guru yang baik sangat menentukan
keberhasilan pendidikan. Ia berpendapat, tugas guru bukan hanya sekedar
mentrasfer ilmu kepada otak anak didik, melainkan juga bertugas membentuk
watak, karakter dan kepribadian anak didik. Untuk itu diperlukan adanya guru
yang baik, yaitu guru yang berfaham ahl al-sunah wa al-jama’ah,
berakidah yang jelas, berilmu serta senantiasa meningkatkan ilmunya, memiliki
jiwa ikhlas dan bersikap bijak.
Pandangannya tentang tipologi guru yang
baik ini, tampaknya ia turunkan dari sikap dan kepribadiannya, sebagai seorang
ulama yang bermazhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah serta sebagai ulama
yang mengedepankan kepribadian yang patut diteladani oleh para siswa, kolega
dan orang sekitarnya. (Syafi’i, 2003: 191)
Selain itu Abdullah Syafi’i mengatakan
bahwa seorang guru yang baik adalah sosok yang memiliki banyak pengetahuan
tentang ilmu agama Islam seperti ilmu fikih, tauhid, akhlak, tafsir Al-Qur’an
dan sebagainya. Pandangan ini didasarkan pada kebutuhan untuk menggantikan
seorang guru yang berhalangan hadir mengajar. Dengan kata lain bahwa guru yang
banyak memiliki pegetahuan agama tersebut, sewaktu-waktu dapat menggantikan
guru yang lain yang kebetulan berhalangan hadir. Dengan cara demikian tidak
akan terjadi kekosongan dalam pengajaran yang dapat merugikan peserta didik.
Soleh RM seorang murid Abdullah Syafi’i
mengatakan sebagai berikut: pada mata pelajaran tertentu yang seharusnya diisi
oleh seorang guru yang bertugas, namun karena yang bersangkutan berhalangan
hadir, guru yang bertugas di perguruan al-Syafi’iyah harus mengisi mengajar
mata pelajara yang kosong di kelas yang lain. Hal yang sering terjadi, di mana
seorang guru pernah memberikan mata pelajaran pada tiga kelas dalam waktu yang
bersamaan. (Syafi’i, 2003: 195).
Tentang perilaku anak didik, Abuddin
Nata lebih lanjut menjelaskan. sebagai seorang yang senantiasa menjadi teladan
bagi siswanya, Abdullah Syafi’i memiliki pandangan yang amat mendalam terhadap
keberadaan anak didiknya. Bagi Abdullah Syafi’i, anak didik adalah merupakan
amanah yang harus dibina potensinya. Abdullah Syafi’i menginginkan anak
didiknya sebagai orang yang memiliki paham keagamaan ahl al-sunnah wa al-jama’ah,
beraklak Islam yang kuat, memiliki niat yang ikhlas, memiliki keberanian,
memiliki etos keilmuan, keterampilan dan akhlak yang mulia. Abdullah Syafi’i
juga menginginkan agar setiap anak didik memiliki keimanan atau akidah yang
kuat. Hal ini dapat digambarkan ketika anak didik memasuki ruangan kelas, maka
bacaan pertama bagi mereka adalah membaca akidah mujmalah, yaitu susunan
kalimat yang mengandung pernyataan pujian kepada, Allah, meridhai Allah sebagai
Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi dan rasul, Al-Qur’an sebagai
imam, Ka’bah sebagai kiblat, orang-orang mukmin sebagai saudara, membebaskan
diri dari agama yang bertentangan dengan agama Islam, mengimani segenap kitab
yang diturunkan Allah dan segenap rasul yang diutusnya, mengimani malaikat,
kadar baik dan buruk, percaya pada hari akhir dan pada setiap yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan hidup dan mati dalam agama Allah, dan
berharap kelak dibangkitkan di hari kiamat bersama orang-orang yang beriman
tanpa dihantui rasa takut dan cemas. (Nata, 2003: 168-174)
2.
Pemikiran dan usaha KH. Abdullah
bin Nuh dalam bidang pendidikan
Nuim Hidayat menjelaskan bahwa Abdullah
bin Nuh memang terkenal dalam mengembangkan pesantren dan pemikirannya yang
mendalam tentang al-Ghazali karena:
1. Ia
mengajar rutin Kitab Ihya Ulumuddin dalam pengajaran mingguan yang dihadiri
banyak ustad-ustad di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya.
2. Ia
sejak kecil di rumah mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris,
kitab-kitab Imam al-Ghazali diantaranya Ihya Ulumuddin.
3. Ia
menamakan pesatrennya dengan nama pesantren al-Ghazali. (internet)
Selanjutnya Abuddin Nata mengatakan
gagasan dan pemikiran pendidikan Abdullah bin Nuh secara implisit dapat
ditelusuri dari berbagai karya tulis serta aktivitasnya sebagaimana tersebut di
atas. Secara eksplisit tidak ada yang berjudul pendidikan dalam arti sebagai
ilmu pendidikan. Di dalam bukunya sering dijumpai adalah pemikiran dan gagasan
tentang nilai-nilai luhur yang barus ditanamkan ke dalam jiwa masyarakat.
Dengan demikian Abdullah bin Nuh dapat dikatakan sebagai praktisi pendidikan,
yaitu orang yang mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk mendidik masyarakat.
Dari berbagai upaya dan kiprahnya itu
dapat diidentifikasi aspek-aspek pendidikan yang diusung oleh Abdullah bin Nuh
diantaranya:
1.
Tujuan pendidikan
Abdullah bin Nuh menginginkan agar
pendidikan diarahkan untuk menghasilkan manusia yang dapat mengabdikan dirinya
kepada Allah SWT melalui berbagai aktivitas yang seluas-luasnya. Manusia yang
demikian itulah yang akan dirasakan manfaatnya baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain. Rumusan tujuan pendidikan yang demikian didasarkan
pada pengamatannya di mana umat Islam pada saat itu masih kurang memperlihatkan
perhatiannya bagi kemajuan masyarakat. Pendidikan harus menolong masyarakat
agar dapat melakukan perannya itu.
2.
Materi pendidikan
Berdasarkan pada sejumlah karya tulis
serta kiprahnya di lembaga pendidikan sebagaimana tersebut di atas, Abdullah
bin Nuh menginginkan agar materi pendidikan di samping memuat mata pelajaran
agama, juga memuat mata pelajaran umum, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi serta berbagai keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal
yang demikian sejalan dengan tujuan pendidikan di atas, serta adanya kenyataan
di mana umat Islam pada saat itu masih banyak memusuhi ilmu pengetahuan dan
melihat pengetahuan agama dan pengetahuan umum sebagai dua bidang ilmu yang
dikotomis. Abdullah bin Nuh ingin mengintegrasikan antara kedua ilmu tersebut
serta menghilangkan dikotomi itu.
3.
Guru
Secara teoritis Abdullah bin Nuh tidak
berbicara tentang guru. Namun secara substantif fungsional ia begitu kuat
keinginannya untuk menghasilkan tenaga-tenaga guru yang handal dan profesional.
Hal yang demikian ia lakukan dengan cara memberikan kepercayaan kepada muridnya
yang senior untuk bertugas sebagai guru dan sekaligus memimpin lembaga pendidikan.
4.
Manajemen pendidikan
Abdullah bin Nuh menyadari benar bahwa
untuk mamajukan pendidikan perlu adanya manajemen pendidikan yang kuat dan
handal. Gagasan ini ia wujudkan dengan cara membentuk yayasan lengkap dengan
sistem organisasinya yang handal sebagaimana tersebut di atas.
5.
Bentuk pendidikan
Abdullah bin Nuh melihat pendidikan
bukan hanya yang berlangsug di kelas-kelas secara formal, melainkan juga yang
berlangsung di masyarakat. Untuk itu bentuk pendidikan yang dikembangkan oleh
Abdullah bin Nuh meliputi lembaga pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Pandangan Abdullah bin Nuh dalam bidang
tujuan kurikulum, guru, manajemen dan bentuk kelembagaan pendidikan tampak
sangat dipengaruhi oleh sikap dan pandangan keagamaannya, yaitu pandanga Sunni.
(Nata, 2003: 191)
C.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahan pemikiran tentang pendidikan antara Abdullah Syafi’i
dan Abdullah bin Nuh ada persamaan dan ada perbedaan yaitu:
1.
Persamaan
a. Mengintegrasikan
antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum.
b. Kedua
pemikiran mereka sama-sama dapat diaplikasikan pada pengembangan pendidikan
dunia akan datang.
2.
Perbedaannya
a. Abdullah
Syafi’i menginginkan sebagai tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia yang
memiliki kualifikasi ulama plus, orang yang menguasai ilmu agama dan ilmu
pengetahuan. Sedangkan Abdullah bin Nub menginginkan agar pendidikan diarahkan
untuk menghasilkan manusia yang dapat mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
b. Abdullah
Syafi’i memajukan pendidikan dengan pendekatan teoritis dan praktis (theory
and practice approach), sedangkan Abdullah bin Nuh tidak memerlukan betul
pendekatan teori namun lebih menitik beratkan pada masalah substansinya.
c. Abdullah
Syafi’i memajukan pendidikan dengan dasar Al-Qur’an dan al-Hadits sedangkan
Abdullah bin Nuh tampak dipengaruhi oleh faham Sunni.
3.
Tanggapan penulis
a. Sangat
setuju pada pemikiran mereka (Abdullah Syafl’i dan Abdullah bin Nuh), karena
keduanya tidak mendikotomikan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum,
ini mewujudkan pencapaian tujuan ajaran Islam yang diharapkan yaitu untuk
bahagia di dunia dan bahagia di akhirat kelak
b. Tidak
setuju karena mereka berbeda aliran, Abdullah Syafi’i konsepnya didasari dengan
Al-Qur’an dan Hadits dan Abdullah bin Nuh dominan dipengaruhi oleh aliran Sunni,
yang berkemungkinan membuat berkotak-kotaknya agama Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen
Agama RI, (1995), Al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang: Toha Putra
Nata,
Abuddin, (2001), Pemikiran tokoh pendidikan Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Syafi’i,
Abdullah, (2003), Tentang Pendidikan Pesantren dan Praktisnya, (Disertasi
Hasbi Indun), Jakarta: UIN